Label

Selasa, 03 Desember 2013

BABAD GIANYAR




DEWA MANGGIS KUNING
BERKUASA DI DESA BENG



Petualangan Dewa Manggis Kuning
Kerajaan Gelgel (Swecapura) pada rentang tahun 1580 – 1665 M diperintah oleh Dhalem Segening sebagai Sesuhunan Bali – Lombok VI. Dhalem Segening menjalankan politik kawin masal agar banyak punya keturunan untuk memperkuat kekuasaannya. Putera-puteranya yang ditempatkan di daerah-daerah yang jauh dari kerajaan Gelgel. Diantaranya yang terkemuka adalah: I Gusti Ngurah Panji Sakti, berkuasa di Buleleng.
Pada suatu hari Dhalem Segening berkunjung ke Desa Manggis Karangasem. Ia terpikat dengan seorang gadis wangsa ksatrya. Gadis ini hamil, kemudian melahirkan putera yang rupawan. Mula-mula anak ini di asuh oleh ibunya di Desa Manggis Karangasem. Setelah dewasa anak ini menghadap ayahandanya di Gelgel.
Sampai di istana Gelgel, anak ini duduk di atas sebuah batu keramat di depan istana. Semua yang melihat tercengang. Tidak ada yang berani menduduki batu ini kecuali Dhalem dan putera-puteranya. Dhalem kemudian menanyakan asal-usul anak ini. Setelah mendengar penjelasan dari anak ini, Dhalem baru teringat, dan mengakui anak ini sebagai puteranya. Anak ini diberi nama Dewa Manggis Kuning, karena kulitnya berwarna kekuning-kuningan.
Suatu hari Dhalem Segening dihadap oleh I Gusti Anglurah Arya Tegeh Kori yang berkuasa di Daerah Badung. Penguasa Badung ini mengajukan permohonan kepada Dhalem agar berkenan memberikan salah satu puteranya untuk ditempatkan di Badung. Permohonan ini dilakukan sehubungan dengan sering terjadinya pertikaian di Kerajaan Tegeh Kori.
Dhalem berkenan memenuhi permohonan ini, dan mempersilahkan Arya Badung tersebut memilih salah satu puteranya. Pada malam harinya Arya Tegeh Kori mendatangi putera-putera Dhalem yang sedang tidur. Salah satu di antaranya mengeluarkan sinar di wajahnya. Arya Tegeh Kori menandai kaki putera itu dengan kapur sirih. Esok pagi hari Arya Tegeh Kori menghadap Dhalem memohon agar putera Dhalem yang kakinya ada tanda kapur sirih (karena namanya belum diketahui) diperkenankan untuk diajak ke Badung. Permohonan dikabulkan, Dewa Manggis Kuning diajak ke negara Badung. Semenjak itu negara Badung tenteram.
Perkembangan kemudian Dewa Manggis Kuning, karena rupawan dicurigai oleh Arya Tegeh Kori. Arya Tegeh Kori banyak punya isteri. Muncul isu tentang adanya hubungan rahasia antara isteri Arya Tegeh Kori dengan Dewa Manggis Kuning, yang berujung dengan diusirnya Dewa Manggis Kuning. Dewa Manggis Kuning secara diam-diam meninggalkan negara Badung menuju desa Pahang, daerah kekuasaan I Gusti Arya Pinatih.
Keberadaan Dewa Manggis Kuning di desa Pahang membuat I Gusti Arya Pinatih merasa cemas, sebab Arya Tegeh Kori sangat berambisi untuk menemukan Dewa Manggis Kuning hidup atau mati. Sebagai belas kasihannya I Gusti Arya Pinatih memberi salah sorang puterinya, I Gusti Ayu Pahang sebagai isteri untuk menemani perjalanannya. Dewa Manggis Kuning juga selanjutnya menginap di rumah I Gusti Pinatih Bija, di Desa Bun demi keamanannya. Merasa tidak aman dari kejaran Arya Tegeh Kori, I Gusti Pinatih Bija kemudian menyarankan agar Dewa Manggis Kuning segera meninggalkan Desa Bun.
Perjalanan secara sembunyi diteruskan menuju arah timur-laut dari Desa Pahang, hingga sampai di hutan Bengkel. Setelah merasa aman dari kejaran orang-orang Arya Tegeh Kori, Dewa Manggis Kuning membuka, merabas hutan. Ia bercocok tanam, berternak, dan akhirnya menetap di sana. Lama-lama daerah ini karena suburnya berkembang menjadi sebuah desa, dinamai Desa Bengkel, dari hutan kayu Bengkel. Lama-lama Desa Bengkel lebih dikenal dengan Desa Beng. Desa Beng mengalami kemajuan yang pesat dari segi perekonomian, yang memberi kesejahteraan masyarakat desa Beng.
Dewa Manggis Kuning setelah melakukan semedi di Pura Bukit Jati dianugrahi senjata berupa sebuah keris yang diberi nama Ki Baru Kama. Senjata lainnya berupa tombak juga diperoleh Dewa Manggis Kuning dari seorang bidadari yang mengaguminya. Kedua senjata ini dipakainya dalam pembebasan negara Gelgel yang dikuasai I Gusti Agung Maruti. Bersama dengan 40 parajuritnya Dewa Manggis Kuning ikut ambil bagian dalam perang itu, yang berakhir dengan kalahnya I Gusti Agung Maruti. Keturunan  Dhalem kembali bertahta, namun tidak menempati istana Gelgel karena rusak berat dan dikotori oleh darah-darah manusia. Mereka dibuatkan istana baru di Klungkung, dengan istananya bernama Smarawijaya Pura, dengan raja pertamanya bernama Dewa Agung Jambe.
Kemasyuran Dewa Manggis Kuning didengar oleh raja Buleleng I Gusti Anglurah Panji Sakti. Raja Buleleng memimpin laskarnya menuju Desa Beng, untuk meminta senjata bertuah. Sesampai di perbatasan Desa Beng, laskar Buleleng membangun benteng-benteng pertahanan. Dewa Manggis Kuning mendengar hal itu menjadi marah. Ia langsung memimpin laskarnya dan berada di depan untuk mencegah banyaknya korban jatuh. Laskar Dewa Manggis Kuning bersenjatakan bambu runcing. Senjata bambu runcing ini di upacarai (di-plaspas) di sebuah tempat yang kemudian menjadi sebuah pura, bernama Pura Dalem Pering. Pura ini disungsung oleh warga tertentu, dan barisan pering gading akhirnya bernama watek penamun.
Berkat kecekatan Dewa Manggis Kuning, raja Buleleng beserta laskarnya mengalami kekalahan, mereka lari tunggang langgang meninggalkan Desa Beng. Bukti kemenangan berupa genta gajah sampai kini masih ada. Demikian juga sawah tempat gajah makan kacang-kacangan sebelum terjadi perang, sekarang dinamai Subak Kacang Bedol. Semenjak itu tombak Dewa Manggis Kuning yang berjasa diberi nama Ki Baru Alis. Desa Beng menjadi tenteram, makmur berkat karisma Dewa Manggis Kuning.
Karena usia sudah lanjut, Dewa Manggis Kuning wafat, meninggalkan seorang putera yang bernama Dewa Manggis Pahang. Nama ini diambil dari nama ibunya I Gusti Ayu Pahang, yang berasal dari Desa Pahang Badung. Dewa Manggis Pahang menjadi generasi kedua, juga disebut Dewa Manggis II.

Dewa Manggis Pahang  (Dewa Manggis II)
Dewa Manggis Pahang menggantikan ayahnya memimpin Desa Beng, menjadi kepala desa. Dewa Manggis Pahang menurunkan 5 orang putera terkemuka. Ibu dari treh ksatrya pungakan dari Desa Beng menurunkan: Dewa Manggis Bengkel. Ibu dari seorang treh Arya Pinatih dari desa Tulikup, menurunkan Dewa Made Pinatih, Dewa Nyoman Pinatih, dan Dewa Ketut Pinatih. Dari ibu wangsa sudra desa Dauh Uma menurunkan Dewa Gde Kesiman.
Dewa Made Pinatih, Dewa Nyoman Pinatih, Dewa Ketut Pinatih pindah mendirikan puri di Seronggo. Dewa Ketut Pinatih kemudian pindah lagi membangun puri di Abiansemal. Sementara Dewa Gde Kesiman membangun Puri di Desa Bitera.
Dewa Nyoman Pinatih bergelar Dewata di Pendem, ia dibunuh oleh adiknya Dewa Ketut Pinatih di desa Kesian Gianyar. Di tempat itu kemudian dibangun pura bernama Pura Pendem, yang disungsung oleh warga Desa Kesian. Tidak ada yang menduga akan terjadi pembunuhan di tempat itu, sehingga daerah itu disebut Tanon, dari Tan Naon = tidak terduga.
Dewa Manggis Bengkel tetap tinggal di kediaman ayahnya di desa Beng. Ia menggantikan kedudukan ayahnya menjadi kepala desa Beng. Dewa Manggis Bengkel sebagai generasi berikutnya disebut Dewa Manggis III.

Dewa Manggis Bengkel (Dewa Manggis III)
Dewa Manggis Bengkel jatuh hati pada puteri Dewa Gde Pemecutan yang berkuasa di kerajaan Taman Bali Bangli, yang bernama Dewa Ayu Nila Puri. Suatu hari Dewa Manggis Bengkel mengambil paksa sang puteri yang sedang berada di Taman Tirtha Arum, yang terletak di sebelah selatan Taman Bali. Sang Puteri diboyong ke Desa Beng.
Raja Taman Bali ternyata salut atas keberanian Dewa Manggis Bengkel. Hubungan Desa Beng dan Taman Bali bertambah erat. Dari perkawinan ini menurunkan putera terkemuka bernama Dewa Manggis Api, disebut juga Dewa Manggis IV. Ia kemudian menggantikan ayahnya yang wafat karena usia tua.


BERDIRINYA KERAJAAN GIANYAR


Dewa Manggis Sukawati (Dewa Manggis IV) Raja I Gianyar       
Dewa Manggis Api mendapat kebesaran bermula dari menghambakan diri pada pada mertuanya Sri Aji Petemon, Raja II kerajaan Dalem Sukawati. Ia mendampingi Sri Aji pada saat-saat akhir hayatnya. Sedangkan kedua putera dari Sri Aji Petemon, yakni Dewa Agung Gde dan Dewa Agung Made tidak datang, karena keduanya masih berseteru. Dewa Manggis Api dengan tekun mendengar pesan-pesan terakhir Sri Aji sebelum wafat.
Setelah Sri Aji wafat, barulah kedua puteranya datang diiringi oleh saudara-saudaranya (dari penawing). Mereka membagi-bagikan pusaka dan harta berharga lainnya. Sangat disayangkan kedua puteranya tidak ikut mempersiapkan upacara pelebon ayahnya. Justru Dewa Manggis Api yang mempersiapkan segala sesuatunya hingga upacara pelebon selesai.
Sesuai dengan pesan-pesan terakhir Sri Aji, Dewa Manggis Api melakukan semadi pada tengah malam di dekat pemuhunan layon. Ia kemudian melihat sebuah bayangan yang diyakini roh Sri Aji. Bayangan itu memberikan sehelai rambut panjang, sepotong ibu jari, dan sebuah cakepan lontar. Pemberian itu diterima bersamaan dengan lenyapnya bayangan itu. Benda-benda itu kemudian diusung ke Puri Beng oleh Dewa Manggis Api dikeramatkan sebagai pusaka.
Di Puri Beng Dewa Manggis Api tidak cocok dengan Cokorda Anom Bende (anak angkat ayahnya Dewa Manggis Bengkel) dari Puri Pejeng. Ia mengalah, menghambakan diri kepada mertuanya Dewa Pemecutan, Raja Tamanbali. Tidak beberapa lama Dewa Made Pinatih (Paman Dewa Manggis Api) dari Puri Seronggo, Dewa Ketut Pinatih dari Puri Abianbase, dan Dewa Gde Kesiman dari Puri Bitera, menjemputnya untuk diajak membangun Puri di tempat yang baru. Mereka memberikan tukang-tukang berpengalaman seperti: I Gunung, I Karang, dan I Taman.
Rakyat Seronggo, Abianbase, dan Bitera bergotong royong, bahu-membahu membangun puri baru yang terletak sekitar 2 km selatan Desa Beng. Penataan puri disesuaikan dengan Puri Tamanbali, dibangun di atas areal milik seorang Brahmana bernama Ida Pedanda Sakti Tarukan, yang diberikan kepada Dewa Manggis Api. Istana baru itu diberi nama Puri Gerya Anyar, kemudian menjadi Puri Gianyar. Dewa Manggis Api sebagai Raja I Gianyar dengan nama abhiseka Dewa Manggis Sukawati (Dewa Manggis IV). Puri Gianyar diperkirakan selesai dibangun tahun 1771 M.
Dewa Manggis Api semakin berjaya, karismanya dapat merukunkan kedua putera pewaris kerajaan Dalem Sukawati: Dewa Agung Gde dan Dewa Agung Made. Semenjak itu Puri Sukawati dan Puri Peliatan berlindung di bawah Puri Gianyar.


Dewa Manggis Di Madia (Dewa Manggis V) Raja II Gianyar
Dewa Manggis IV wafat dalam usia tua. Kedudukannya digantikan oleh putera terkemuka, Dewa Manggis Di Madia sebagai Dewa Manggis V. Di  bawah kekuasaannya Kerajaan Gianyar mengalami perluasan wilayah. Ia dikenal sebagai raja yang berani dan tegas dalam menegakkan keadilan.
Seorang raja puteri Mengwi Gusti Ayu Oka menaruh hati padanya. Hubungan gelap pun terjadi. Gusti Ayu Oka sebagai tanda cintanya memberikan sebuah sarung keris pusaka bernama prabangsa, yang sangat mahal harganya. Selain itu Dewa Manggis V juga diberikan beberapa desa kekuasaan Mengwi, seperti: Belang, Singakerta, Jukutpaku, Samu, Sigaran, dan Kengetan.
Hubungan gelap ini diketahui oleh I Gusti Ngurah Jelantik XVII, penguasa Desa Blahbatuh. Itulah sebabnya ia berani menolak permintaan Dewa Manggis V atas puterinya Gusti Luh Meranggi. Penolakan ini membuat Dewa Manggis V geram. Blahbatuh diserang hingga takluk. Gusti Luh Meranggi diboyong ke Puri Gianyar, namanya diganti menjadi Gusti Ayu Ngurah.
Perkawinan ini menurunkan seorang puteri yang bernama Dewa Ayu Ngempol. Setelah dewasa sang puteri hendak dipinang oleh Raja Bangli Dewa Gde Rai Tangkeban. Penolakan ini diketahui oleh Raja Tamanbali Dewa Gde Anom, yang sudah lama berseteru dengan Raja Bangli. Raja Tamanbali meminta bantuan Puri Gianyar untuk menyerang Bangli. Puri Gianyar menyetujui, dengan bantuan Puri Sukawati, Negara, dan Mas, Kerajaan Bangli dapat ditaklukkan, Raja Dewa Gde Rai Tangkeban menyingkir ke Pura Kehen. Puri Bangli jatuh di tangan laskar Gianyar.
Di Pura Kehen Raja Bangli menyusun kekuatan untuk merebut Puri Bangli. Laskar Bangli mengamuk membabat laskar Gianyar yang sedang mabuk-mabukkan merayakan kemanangannya. Laskar Gianyar cerai berai banyak yang binasa. Demikian juga Puri Tamanbali jatuh di tangan laskar Bangli. Raja Tamanbali Dewa Gde Anom tewas dalam perang ini.
Markas laskar Gianyar yang dipimpin langsung Raja Gianyar juga dikejar oleh laskar Bangli. Laskar Gianyar mengundurkan diri sampai di Desa Sidan. Kemudian datang bantuan dari laskar Tulikup. Sampai di sini laskar Bangli tidak berani mengejar. Kewaspadaan di tingkatkan di sebelah utara desa Sidan, sehingga wilayah itu diberi nama Jagaperang.
Dewa Manggis V juga menerima dengan baik permintaan Dewa Agung Panji dari Klungkung untuk bersembunyi di Desa Tulikup. Dewa Agung Panji kalah dalam berseteru dengan Dewa Agung Putera I dalam merebut kekuasaan. Dewa Agung Panji dibuatkan Puri di Desa Tulikup. Atas kebaikan hati Dewa Manggis V, Dewa Agung Panji berkenan memberikan adiknya Dewa Ayu Muter kepada Dewa Manggis V untuk dijadikan isteri. Atas usaha Dewa Manggis V, kedua putera Raja Klungkung kembali rukun. Dewa Agung Panji kembali ke Klungkung, permusuhan antara keduanya diakhiri.



Dewa Manggis Di Rangki (Dewa Manggis VI) Raja III Gianyar
Dewa Manggis Di Madia (Dewa Manggis V) wafat dalam usia tua. Ia kemudian digantikan oleh putera terkemuka, Dewa Manggis Dirangki (Dewa Manggis VI) sebagai Raja Gianyar III.
Pada tahun 1846 M, Raja Gianyar ini menyerang Desa Pejeng yang terletak ± 7 km dari kota Gianyar. Ia marah karena pinangannya terhadap salah seorang puteri Pejeng ditolak oleh penguasa Pejeng, Cokorda Pinatih. Raja memerintahkan punggawa Desa Blahbatuh I Gusti Ngurah Jelantik XVIII dan adiknya I Gusti Ngurah Made menyerang Pejeng dengan tentara pilihan. Pertempuran sengit antara Blahbatuh dan Pejeng pun terjadi. Laskar Pejeng dapat dikalahkan, namun harus dibayar dengan tewasnya I Gusti Ngurah Made, orang nomor dua di Blahbatuh. Sementara Cokorda Pinatih yang sempat melarikan diri ke hutan akhirnya menyerahkan diri. Raja memberi hukuman selong, dibuang ke Nusa Penida.
Kekalahan Pejeng ini, membuat Cokorda Oka, adik dari Cokorda Pinatih yang berkuasa di Belusung, menyatakan lepas dari Kerajaan Gianyar dan menghamba ke Kerajaan Bangli. Demikian juga Cokorda Anom Rambang penguasa Pejengaji Tegallalang, dan Cokorda Agung penguasa desa Nyalian minta perlindungan pada Raja Bangli. Mereka bertiga yang ber-wangsaCokorda’, tidak mau berada di bawah perintah Raja Gianyar yang ber-wangsaI Dewa’ (bukan ‘Ida I Dewa’).
Dewa Manggis Di Rangki (Dewa Manggis VI) wafat dalam usia tua, pada bulan Oktober 1847 M. Pelebon dilaksanakan pada tanggal 21 Desember 1847, diiringi dengan mesatya yang dilakukan oleh orang-orang yang setia pada raja. Selama upacara pelebon, putera mahlota Dewa Gde Putera senantiasa diincar untuk dibunuh oleh punggawa Seronggo Dewa Gde Kepandaian, yang berambisi menduduki tahta Puri Gianyar.
Putera mahkota sempat menyingkir ke Puri Langon, yang terletak di pinggiran timur kota Gianyar. Sementara pasukan Dewa Gde Kepandaian menduduki Puri Gianyar. Peristiwa ini diperkirakan terjadi pada akhir tahun 1848 M. Berkat kecekatan Patih Made Pasek dan salah seorang pemuda I Made Pasek Cedok, pasukan Dewa Gde Kepandaian dapat dihasut sehingga berbalik memihak lawan. Dewa Gde Kepandaian akhirnya melarikan diri ke Badung, setelah beberapa lama berada di Puri Peliatan.
Tokoh-tokoh yang berada di pihak Dewa Gde Kepandaian, seperti Dewa Gde Kompyang dari Puri Bitera ditangkap diasingkan di desa Bakas. Ia meninggal di tempat pengasingan dibunuh oleh warga setempat. Komplotan Dewa Gde Sengguan di Puri Batubulan dihukum selong ke Nusa Penida. Made Pasek Cedok kemudian diangkat sebagai patih kerajaan.

Dewa Manggis Di Ksatriya (Dewa Manggis VII) Raja IV Gianyar
Setelah situasi keamanan terjamin Putera Mahkota Dewa Gde Putera dinobatkan dengan abhiseka Dewa Manggis Di Ksatriya (Dewa Manggis VII), sebagai Raja IV Gianyar. Raja Gianyar ini mengirim pasukan yang berjumlah ribuan orang ke Buleleng yang berperang melawan Belanda, yang lebih dikenal dengan Perang Jagaraga. Kerajaan Buleleng akhirnya jatuh di tangan Belanda.
Perkembangan selanjutnya, berkat strategi Patih Made Pasek pada tahun 1854, dua wilayah, yaitu Tampaksiring dan Payangan ditambah dengan sepuluh desa: Mulung, Semita, Bonawah, Bonnyuh, Madangan, Padpadan, Panyembahan, Melayang, Mantering, dan Petak, yang semula berada di bawah kekuasaan kerajaan Bangli menjadi bagian dari kekuasaan Kerajaan Gianyar.
Raja Bangli Dewa Gde Tangkeban minta bantuan kepada Pemerintah Hindia – Belanda untuk merebut wilayah dan desa yang dikuasai Gianyar. Belanda mengirim utusan dari Banyuwangi bernama Pringgo Kusumo ke kerajaan Gianyar, pada tanggal 6 September 1854. Pringgo Kusumo tinggal di Gianyar selama 11 hari. Selama tinggal ia melihat orang-orang Payangan dan Tampaksiring lebih senang menjadi rakyat Gianyar. Belanda akhirnya tidak bersedia membantu Bangli dalam mengembalikan 2 wilayah ini.
Raja Bangli kemudian berpaling ke Puri Klungkung, menghasut Dewa Agung Putera III. Kebetulan Dewa Agung Putera III juga tidak senang meluasnya Kerajaan Gianyar, sebab merasa pernah dipermalukan oleh Raja Gianyar. Raja Klungkung gagal meminang puteri dari Gianyar Dewa Ayu Muter, yang ternyata lebih dulu menikah dengan Dewa Gde Agung Punggawa Sukawati.
Raja Klungkung juga pernah membuat kesal Raja Gianyar. Ketika pada tanggal 19 Agustus 1854 Raja Klungkung menikahi putri dari Badung bernama I Gusti Ayu Jambe, anak angkat dari I Gusti Gde Kesiman, tokoh yang berpengaruh di Badung. Pernikahan diadakan di Badung. Rencananya kedua mempelai pada waktu pulang ke Klungkung akan singgah di Puri Gianyar. Raja Gianyar sudah mempersiapkan jalan-jalan menuju Puri Gianyar, dihiasi dengan janur dan berbagai kembang. Akan tetapi kedua mempelai ternyata memilih jalur pantai, menyusuri Pantai Lebih, terus ke Timur sampai ke Klungkung.
Raja Gianyar semakin merasa was-was atas perkawinan Dewa Agung Klungkung dengan seorang putri dari Kerajaan Bangli. Raja Gianyar menutup rapat-rapat perbatasannya dengan Bangli, yang melakukan kerjasama erat dengan Pemerintah Hindia-Belanda.
Raja Gianyar mengutus Patih I Made Pasek ke Kerajaan Karangasem, untuk mempererat hubungan kedua kerajaan. Kerajaan Karangasem berseteru dengan Klungkung soal wilayah-wilayah di Lombok. Raja Gianyar berharap dapat saling membantu dalam menghadapi musuh-musuhnya. Salah seorang pengiring Patih I Made Pasek, bernama I Mileh berkhianat. I Mileh pergi ke Klungkung seraya memberi tahu, bahwa Patih I Made Pasek sedang berada di Karangasem.
Mata-mata Klungkung disebar untuk menangkap Patih I Made Pasek pada waktu pulang dari Karangasem. Dewa Agung Klungkung langsung memimpin untuk menghadang Patih I Made Pasek di perairan Pantai Kusamba dengan berpuluh-puluh jukung. Ternyata Patih I Made Pasek tidak melalui perairan Kusamba, melainkan lewat Desa Padang, kemudian menuju  Gunung Rata, sudah termasuk wilayah Gianyar.
Raja Gianyar memberi hukuman kepada Cokorda Made Tanjung, salah seorang bangsawan muda di Tampaksiring. Cokorda Made Tanjung adalah sepupu dari Raja Bali dihasut, akhirnya dijatuhui hukuman selong, dibuang Nusa Barong, dan menemui ajalnya di sana.
Wafatnya Cokorda Made Tanjung membuat situasi konflik semakin memanas. Baik Raja Bangli maupun Dewa Agung Klungkung memanfaatkan orang-orang penting Gianyar yang ber-wangsa ‘cokorda’. Memang selama ini wangsa ‘cokorda’ tidak rela dipimpin oleh wangsa ‘dewa’. Para wangsa ‘cokorda’ ini akan dijadikan sebagai koloni ke-5 dalam usaha menghancurkan Kerajaan Gianyar. Para wangsa ‘cokorda’ ini terang-terangan mengatakan tidak senang dengan pemerintahan Kerajaan Ganyar, dan siap membantu Dewa Agung Klungkung.
Bulan Mei 1862, pasukan Kerajaan Gianyar bersiaga di kedua wilayah, yakni Payangan dan Tampaksiring. Ditempatkannya pasukan Gianyar ini untuk mengantisipasi Kerajaan Bangli menghasut rakyat di kedua desa itu, memanfaatkan wafatnya Cokorda Made Tanjung. Pasukan Gianyar dan Bangli akhirnya bertempur di Desa Kerta, sebuah wilayah Kerajaan Mengwi, yang dimanfaatkan oleh Kerajaan Bangli sebagai pangkalan untuk menghasut rakyat Payangan dan Tampaksiring. Perang berlangsung pada bulan Juli 1862, tidak kurang 400 jiwa melayang. Raja Gianyar memprotes Kerajaan Mengwi yang memberi ijin Kerajaan Bangli menggunakan wilayahnya sebagai pangkalan.



 RUNTUHNYA KERAJAAN GIANYAR


Dewa Agung Klungkung Menghendaki Kehancuran Gianyar

Pada bulan April 1868 atas prakarsa Dewa Agung Klungkung, Kerajaan Gianyar diserang oleh pasukan gabungan dari 4 (empat) kerajaan: Klungkung, Bangli, Mengwi, dan Badung. Dari arah timur Gianyar diserang oleh pasukan Klungkung, dari arah timur-laut oleh Bangli, dari barat-laut Mengwi, dan dari arah barat dan selatan pasukan dari Kerajaan Badung. Desa Sasih di Batubulan diduduki oleh laskar Badung, desa Semana dibakar oleh laskar Mengwi. Beberapa pengamat politik berpendapat, bahwa Badung dan Mengwi tidak sepenuh hati membantu penyerangan ini, terbukti dengan tidak adanya korban jiwa satu pun.
Pertempuran di perbatasan timur sangat sengit terjadi di Desa Gunungrata. Patih Ketut Pasek dengan rambut terurai memimpin laskar Gianyar, hingga tak sejengkal pun laskar Bangli dapat menguasai wilayah Gianyar. Di Desa Tegal Besar laskar Gianyar dipimpin oleh kakak beradik Dewa Nyoman Sandat dan Dewa Ketut Sandat. Desa Tegal Besar menjadi lautan api, selain itu peperangan sengit terjadi di Desa Siyut, bala bantuan Klungkung dari Tulikup, dan Bajarangkan segera berdatangan. Serangan Klungkung ini dapat dibendung oleh lasakar Gianyar.
Patih I Ketut Pasek membuat sebuah patung dari jerami dengan wujud Dewa Agung Putera III. Patung tersebut ditempatkan di depan Pasar Gianyar. Warga yang melintas di depan patung disuruh memukul, menendang sebagai simbol kemarahan rakyat Gianyar. Dewa Agung Putera III yang mengetahui dirinya dihina bukan kepalang meluap kemarahannya.
Dewa Agung Klungkung memerintahkan Mengwi agar sungguh-sungguh menyerang Gianyar. Perintah ini terpaksa dituruti Raja Mengwi mengingat keselamatan seorang puterinya yang menjadi taruhan di Klungkung. Bulan Agustus 1874 Mengwi menyerang desa Kedewatan yang terletak di pinggir timur Tukad Ayung. Cokorda Rai Batur pembesar dari Ubud, memimpin laskar Ubud, Kelusa, Tegalalang, dan Negara berhasil mengusir laskar Mengwi. Sekitar 1.000 orang laskar Mengwi tewas akibat terjangkit kolera. Atas jasanya itu, Cokorda Rai Batur diangkat sebagai Punggawa Ubud. Sebelumnya Ubud berstatus Manca di bawah Punggawa Peliatan.

I Ketut Sara Mengendalikan Pemerintahan Gianyar.

Pada suatu hari setelah menghadari upacara potong gigi di tempat Punggawa Negara, Raja Gianyar Dewa Manggis Di Ksatriya menginap di rumah kakaknya Punggawa Sukawati. Sebagai penghormatan Punggawa Sukawati mengadakan tontonan joged. Rupanya Raja Gianyar jatuh hati pada salah seorang penari joged yang bernama Ni Kalis. Ni Kalis diboyong ke Puri Gianyar, diperisteri oleh raja dan diberi gelar Ni Jro Nyeri. Konon Ni Kalis sebelumnya melakukan hubungan dengan seorang bangsawan hanya saja belum sah secara tradisi. Ni Jro Nyeri mulai dipingit, ia mempunyai seorang adik laki-laki bernama I Ketut Sara.
Karena sayangnya Raja Gianyar pada isterinya Ni Jro Nyeri, I Ketut Sara pun mendapat kedudukan di kerajaan. Patih Made Pasek dan para Manca lainnya sangat menyayangkan sikap raja yang mentolerir tindak-tanduk I Ketut Sara, yang tidak menghormati para pembesar bangsawan lainnya. Patih I Made Pasek merasa tidak berguna lagi sehingga tidak pernah muncul di paseban. Sementara itu I Ketut Sara yang mendapat kekuasaan menggangkat beberapa orang sebagai penasihatnya, seperti: Ida Kompyang Bajing.
Kebijakan I Ketut Sara membuka hubungan dengan Klungkung ditentang oleh para punggawa dan patih, tetapi tidak digubris karena disetujui oleh raja. Sementara Klungkung merasa beruntung, karena dengan demikian terbuka jalan untuk menghancurkan Kerajaan Gianyar. Berdasarkan Surat Keputusan Pemerintah Hindia-belanda (beslit) No. 3 pada Tanggal 3 September 1883, Kerajaan Gianyar berlindung di bawah Kerajaan Klungkung.
Tanggal 17 Pebruari 1884 rakyat desa Apuan yang dipimpin oleh  I Wayan Rebut, menyatakan bergabung dengan Kerajaan Bangli. Laskar Bangli segera menduduki desa tersebut. Raja Gianyar sangat marah menerima berita ini, ia segera memerintahkan I Ketut Sara untuk mengambil tindakan. Bulan Maret 1884, I Ketut Sara memimpin lasakar Gianyar menyerbu Desa Apuan. Serangan ini gagal karena ia belum berpengalaman menjadi panglima. Serbuan kedua pada bulan Agustus 1884, I Ketut Sara memimpin laskar Gianyar yang dibantu oleh laskar Pejeng dan Sukawati. Laskar Pejeng menyerang dari barat-laut, laskar Sukawati dari barat-daya. Kedua laskar ini bertemu, tidak saling mengenal, akhirnya terjadi saling serang antar teman sendiri. Serbuan kedua ini juga gagal, sedikit 300 prajurit tewas akibat pertempuran dengan kawan sendiri.
Januari 1885 Punggawa Negara Cokorda memimpin rakyat desa Negara melepaskan diri dan memberontak terhadap kekuasaan Kerajaan Gianyar, atas himbauan Dewa Agung Klungkung. Punggawa Sukawati Dewa Gde Agung tidak dapat menahan serangan laskar Negara, demikian juga Dewa Ketut Serongga Manca Batuan dipaksa menyerah. Laskar Negara akhirnya menguasai desa-desa: Batuan, Batuaji, Puaya, Peninjoan, Sumampan, Abianpandan, Cemenggon, Sakah, Kengetan, Ketewel, Gumicik, Singapadu, Sindujiwa, Singakerta, Tebongkang, Kelusa, Tengkulak, Semana, Banjar Ambengan, Tatag, Pejengaji, Yeh Tengah, dan Demayu.
Dewa Agung Klungkung mengirim utusan Cokorda Gde Oka Satriya sebagai Senapati, beserta Ida Pedanda Ketut Pidada, diiringi dengan puluhan lakar Klungkung. Utusan tiba di desa Negara untuk mengetahui sejauh mana keberhasilan Punggawa Negaa  ini.
Raja Gianyar baru mendengar berita pemberontakan ini saat diadakan sabungan ayam di depan halaman Puri Gianyar. Raja Gianyar menjadi bingung segera menitahkan I Ketut Sara untuk mengirim utusan mencari kejelasan. Utusan yang dikirim ke Negara dan Peliatan. Ke Negara diutus Ida Pedanda Bitera, yang pernah memimpin upacara pemanahan Nagabanda sewaktu Pelebon di Negara dulu. Ke Peliatan diutus Ida Pedanda Buruan disertai Dewa Bokor dan Dewa Janur. Utusan yang dikirim melaporkan bahwa laskar Mengwi sudah tiba bergabung di Negara dan Peliatan untuk menyerang Gianyar.

Raja Gianyar Tunduk Terhadap Permintaan Klungkung
Perkembangan selanjutnya, Kerajaan Gianyar dikepung dari berbagai arah. Situasi di Puri Gianyar semakin genting, raja meminta mengadakan paruman para pembesar kerajaan. Raja Putera Dewa Ngurah Pahang meminta patih tua I Made Pasek untuk datang. Dalam keadaan sakit tua I Made Pasek digotong ke Puri. Hadir juga dalam pesamuhan itu antara lain: Dewa Gde Raka,  I Gusti Ngurah Made Blahbatuh, Ida Kompyang Bajing, I Ketut Pasek, I Ketut Sara, beberapa punggawa manca dari Bitera, Tulikup dan lain sebagainya.
Dewa Gde Raka mengusulkan dalam persidangan itu, agar Raja Gianyar memenuhi permintaan Dewa Agung Klungkung untuk menyingkir terlebih dulu ke Klungkung demi keselamatan raja. Usulan ini disokong oleh I Ketut Sara dan kelompoknya. Mereka percaya Dewa Agung Klungkung setia dengan kata-kata. Dengan menyingkirnya Raja Gianyar, memudahkan Dewa Agung untuk menindas pemberontak di Kerajaan Gianyar.
Tanggal 3 Pebruari 1885 rombongan Raja Gianyar meninggalkan istana menuju Puri Smarapura Klungkung. Rombongan bermalam di Banjarangkan di kediaman Dewa Gde Raka, Manca Banjarangkan. Pagi-pagi esoknya datang utusan dari Dewa Agung yang menyatakan agar rombongan menyerahkan semua senjata. Rombongan tidak dibolehkan bersenjata. Semua senjata pusaka kawitan seperti: keris Ki Baru Kama, Raksasa Bedak, sepasang tombak Ki Baru Alis dan Ki Badeg, diserahkan sebagai tanda ketulusan hati.
Sesampai rombongan Raja Gianyar tiba di Klungkung, ternyata rombongan tidak dibolehkan ke Puri, mereka dibelokkan menuju Puri Satrya di kediaman Cokorda Rai (pernah paman Raja Gianyar). Di sinilah Raja Gianyar diasingkan bertahun-tahun hingga wafat pada tanggal 24 April 1891. I Ketut Sara diperkenankan menjadi abdi di Puri Klungkung, sementara Patih I Ketut Pasek dibunuh secara kejam di Takmung. Keluarganya yang masih tersisa dihukum selong dibuang ke Nusa Barong (Penida).
Sehari setelah Raja Gianyar meninggalkan kerajaan, laskar Klungkung dan Bangli langsung menduduki kota Gianyar. Kerajaan Gianyar sebelah timur sungai Petanu dibagi dua. Daerah pesisir menjadi bagian Klungkung, sedangkan daerah pegunungan dikuasai Bangli. Daerah Barat sungai Petanu seperti: Tegalalang, Ubud, Peliatan, Payangan, dan Tampaksiring tidak mau tunduk kepada penguasa baru.
Cokorda Made sebagai wakil Dewa Agung Klungkung di Puri Gianyar mengunpulkan para perbekel dua hari setelah Raja Gianyar meninggalkan kerajaan. Semua perbekel yang diundang menyatakan setuju datang kecuali patih I Made Pasek yang menyatakan tidak bersedia datang karena sudah tua dan sakit-sakitan, Benar besoknya patih I Made Pasek menghembuskan napas terakhir, ia meninggal secara ngerta semaya.
Daerah Batu Bulan dibawah pimpinan kakak-adik Dewa Made Pelasa dan Dewa Ketut Pelasa tidak mengakui penguasa baru. Dengan tipu daya yang licik, Dewa Ketut Sandat mendatangi mereka, dengan mengatakan bahwa Dewa Made Pelasa dan Dewa Ketut Pelasa diundang Raja Klungkung untuk membicarakan kerajaan Gianyar bersama dengan Raja Gianyar. Kedua kakak-beradik ini tanpa curiga bersedia datang ke Klungkung, mereka ternyata dibawa ke Gelgel, ke Pura Dasar, dengan alasan kedua Raja: Raja Klungkung dan Gianyar berada di sana. Setibanya di Gelgel keduanya diajak ke desa Kamasan. Di desa inilah kedua penguasa Batubulan ditahan hingga meninggal di tempat tahanan.

Perlawanan Terhadap Kekuasaan Klungkung
Pendudukan Klungkung dan Bangli mulai mendapatkan perlawanan. I Gusti Ngurah Made dari Blahbatuh menganggap Dewa Agung tidak menepati janjinya, untuk melindungi Dewa Mangis Diksatrya. Semua keluarga Puri Blahbatuh dikumpulkan, mereka sepakat mengumpulkan kekuatan dengan membentuk persatuan dengan para Punggawa dan Manca, seperti: Sukawati, Tegalalang, Peliatan, Siangan, Bedulu, Bitera, Abianbase, Gianyar dan Tulikup. Mereka melakukan sumpah setia di Pura Taman Ayun.
Penggalangan kekuatan ini diketahui oleh Dewa Agung. Dewa Agung marah segera mengirim pasukan untuk menyerang pasukan pimpinan I Gusti Ngurah Made. Dewa Gde Rai dan adiknya Dewa Gde Oka penggawa Tulikup ditangkap ditawan di Klungkung, kemudian dibebaskan dengan sumpah kesetiaan kepada Klungkung. Punggawa Abianbase, dan Sukawati lari ke Blahbatuh, kemudian bersama-sama punggawa Blahbatuh mereka menyelamatkan diri ke Mengwi.
Perkembangan selanjutnya tiga serangkai punggawa Peliatan, Ubud, dan Tegalalang berhasil mengalahkan Negara yang didukung oleh Klungkung. Dewa Agung kemudian mengutus Cokorda Pelonot dengan ratusan tentara Klungkung. Negara menyatakan lepas dan merdeka dari kekuasaan Tiga Serangkai Punggawa Peliatan, Ubud, dan Tegalalang. Pernyataan kemerdekaan ini mengundang amarah dari Cokorda Gde Sukawati, ia segera mengambil tindakan, namun dihalangi oleh Dewa Gde Rai Sana Punggawa Tegalalang, dan disarankan menghubungi Raja Mengwi untuk membantu penyerangan ke Negara.
Pada Tanggal 5 Januari 1891 ratusan bala bantuan Mengwi tiba di bawah pimpinan I Gusti Agung Mayun. Laskar Peliatan dan Tegalalang siap dari arah selatan desa Mas. Laskar Ubud dari arah barat. Punggawa Negara mengantisipasi serangan ini dengan mendatangkan laskar dari Blahbatuh, Kuramas, Tojan, Bonbiyu yang berjumlah ribuan. Laskar gabungan Negara akhirnya berhasil mengalahkan laskar Gabungan Mengwi, Peliatan, Ubud, dan Tegalalang. Gagalnya penyerangan terhadap Negara ini membuat sedih perasaan Cokorda Sukawati yang sedang beristirahat di desa Camenggaon.



Dewa Manggis Diksatrya (VII) Wafat Di Puri Satrya
Pada tanggal 24 April 1891 Raja Gianyar Dewa Manggis Diksatrya (VII) wafat di tenpat pengasingannya di Puri Satrya. Pelebon dilaksanakan di tempat pengasingan oleh putera mahkota Dewa Ngurah Pahang dan adiknya Dewa Gde Raka. Kedua putera pewaris kerajaan Gianyar ini tetap tinggal di pengasingan dengan status sebagai tawanan.
Pada tanggal 18 Juni 1891, tiga serangkai Punggawa Peliatan, Ubud, dan Tegalalang dengan laskarnya menggempur Negara lagi. Kali ini serangannya sungguh hebat. Laskar Sukawati membantu sebelumnya sudah berada di Peliatan. Cokorda Lingsir Cekele di Blahbatuh tidak berdaya membantu adiknya Cokorda Pelonot di Negara. Demikian juga Cokorda Made, kuasa Dewa Agung di Gianyar yang tinggal di Puri Seronggo tidak tahan terhadap serangan laskar Abianbase, melarikan diri ke Klungkung. Puri Negara dibakar hingga menjadi abu. Cokorda Pelonot melarikan diri ke Badung.

Dewa Ngurah Pahang Meloloskan Diri Dari Tahanan
Pada tanggal 20 Januari 1893 Karangasem mengirim laskar berani mati berjumlah 75 orang dipimin oleh orang dari desa Taro menjemput dan mengambil kedua pengeran Gianyar di desa Satrya. Kedua Pangeran Dewa Ngurah Pahang dan Dewa Gde Raka yang diboyong sampai di sebuah tempat yang sekarang bernama Pura Tugu, sebagai tempat pemujaan putera mahkota.
Kerajaan Gianyar telah berdiri lagi berkat ketangguhan Penggawa Ubud yang bernama Cokorda Gde Sukawati, sebagai Panglima Perang Kerajaan Gianyar. Berdirinya kembali Kerajaan Gianyar dibuktikan dengan surat Pemerintah Hindia Belanda tanggal 27 Pebruari 1893, kemudian Akta Van Arkening tanggal 20 Nopember 1893, dan dkuatkan lagi dengan surat Pemerintah Hindia-Belanda di Batavia tanggal 19 Maret 1984.
Tanggal 23 Januari 1896 Dewa Ngurah Pahang mendadak wafat, mungkin karena payah dalam mengkonsolidasikan kerajaan. Ia belum menjalani upacara abhiseka, sehingga tidak berhak memakai gelar ‘Manggis’. Pelebon dilaksanakan pada tanggal 18 September 1896.

Dewa Gde Raka (Dewa Manggis VIII) Raja V (Terakhir) Gianyar
Adik Dewa Ngurah Pahang yang bernama Dewa Gde Raka, naik menggantikan kakaknya. Ia menjalani upacara abhiseka dengan Dewa Manggis VIII sebagai raja V Gianyar. Pemerintahan Hindia-Belanda mengakui penobatan ini dengan surat tertanggal 22 Desember 1896, kemudian dikuatkan lagi dengan besluit Gubernur Jenderal di Batavia No. 11 tertanggal 18 Mei 1897 dengan gelar Dewa Manggis VIII.
Dewa Manggis VIII tidak mempunyai kepribadian kuat dalam memegang pemerintahan. Ia tidak berani mengambil tindakan tegas, ketika salah seorang adiknya perempuannya Dewa Ayu Stri Oka dikawini oleh Cokorde Gde Sukawati. Wanita ini sebenarnya sudah bersuamikan Dewa Agung Gde Oka, putra Raja Dewa Ngurah Pahang. Peristiwa jelas sebagai pelanggaran hukum adat.
Tanggal 14 Agustus 1897 Punggawa Tampaksiring memberontak dan membelot ke Kerajaan Bangli atas saran  Dewa Agung Klungkung. Kemudian tanggal 16 Agustus 1897 laskar Klungkung menyerang pantai Lebih. Serangan ini dapat digagalkan berkat ketangguhan Dewa Gde Agung Putera, yang dibantu oleh Punggawa Peliatan. Perang ini memakan korban 22 orang tentara Klungkung tewas dan 5 buah rumah terbakar.
Klungkung dan Bangli selalu mencari upaya untuk menjatuhkan Gianyar, selalu melakukan serangan berikutnya, seperti: tanggal 12 April 1899 menyerang desa Mancawarna; 15 Mei 1899 menyerang Pejeng, Cokorde Suda Pejeng lari membelot ke Bangli; 30 Juni 1899 menyerang Sloli.

Kerajaan Gianyar Berlindung Kepada Pemerintah Hindia – Belanda.
Pada pertengahan Desember 1899, di Paseban Keraton Gianyar diadakan musyawarah besar dalam menentukan nasib kerajaan Gianyar. Rapat dipimpin langsung oleh Raja Gianyar, dihadiri oleh para pembesar seperti: para punggawa, manca, pemuka masyarakat. Raja memaparkan tentang tawaran dari Pemerintah Hindia-Belanda yang akan memberi perlindungan apabila bernaung di bawah bendera Pemerintah Hindia-Belanda. Oleh para hadirin, diputuskan untuk berlindung kepada Pemerintah Hindia – Belanda.
Raja Gianyar mengirim surat permohonan perlindungan keamanan kepada Pemerintah Hindia – Belanda tertanggal 28 Desember 1899, yang disusul Surat Permohonan berikutnya tertanggal 8 Januari 1900, hasil rapat di desa Swat. Sementara menunggu jawaban dari Pemerintah Hindia – Belanda, Gianyar diserang terus oleh kerajaan Bangli. Gianyar menolak tawaran Dewa Agung Klungkung yang akan memberi perlindungan apabila berlindung kepada Klungkung. Kerajaan Gianyar mempunyai pengalaman yang buruk masa sebelumnya, ketika Gianyar berlindung kepada Dewa Agung Klungkung. Utusan Dewa Agung Klungkung beberapa kali datang ke Gianyar, tetapi tidak ditanggapi oleh Cokorde Gde Sukawati.
Tanggal 2 Januari 1900 Bangli menyerang 6 desa: Petak, Mantering, Padpadan, Panyembahan, Melayang, dan Pemanisan. Panglima Perang Cokorde Gde Sukawati bersama laskar Punggawa Bitera, Siangan membendung serang tersebut. Perang ini menyebabkan 80 rumah hangus, 24 tewas, 26 luka-luka, di pihak Gianyar. Korban dari pihak Bangli tidak diketahui.
Laskar Bangli kembali menyerang kerajaan Gianyar di desa Semita, Bonyuh, dan Nadangan pada tanggal 10 Januari 1900. Serangan juga dapat dibendung. Panglima Perang Cokorde Gde Sukawati bertekad akan tetap mempertahankan wilayah Kerajaan Gianyar sampai titik darah penghabisan. Atas tekanan Dewa Agung Klungkung, Raja Gianyar tidak dapat menolak menandatangani surat perjanjian perdamaian. Perdamaian ini dikukuhkan dengan upacara sumpah yang diadakan di Pura Kentel Gumi, Desa Banjarangkan pada tanggal 26 Januari 1900. Namun, Raja Gianyar tetap berprinsip untuk menempatkan Kerajaan Gianyar di bawah kekuasaan Pemerintah Hindia-Belanda, dan Kerajaan Gianyar akan tetap berdiri sendiri. Upacara sumpah di Pura Kentel Gumi ini dilaporkan Raja Gianyar, Dewa Gede Raka, kepada Presiden Liefrinck dalam suratnya tetanggal 17 Pebruari 1900.
Baru pada tanggal 6 Desember 1900 datang surat balasan dari Pemerintah Hindia – Belanda. Semenjak itu kerajaan Gianyar berada dalam status stedehouder, hingga Dewa Manggis VIII sebagai Raja terakhir Gianyar wafat pada tahun 1912.



KERAJAAN GIANYAR BERSTATUS STEDEHOULDER


Ide Anak Agung Ngurah Agung
Raja pertama yang memerintah Gianyar setelah berstatus Stedehoulder adalah Ide Anak Agung Ngurah Agung. Ide Anak Agung Ngurah Agung adalah putera dari Dewa Gde Raka (Dewa Manggis VIII), lahir dari permaisuri utama asal keluarga Punggawa Ubud, putri sulung dari punggawa terkenal Kerajaan Gianyar, yakni Cokorda Gde Raka Sukawati. Ngurah Agung mempunyai 9 (sembilan) anak dari perkawinannya dengan para istri dan selir (24 orang). Dari 9 (sembilan) anak itu anya 4 (empat) yang hidup, yaitu dua laki-laki dan dua perempuan. Anak laki-laki pertama bernama Ide Anak Agung Gde Agung dan adiknya Ana Agung Gde Oka.
Ide Anak Agung Ngurah Agung yang lahir tahun 1895, mulai memerintah tahun 1917 hingga 1943. Ngurah Agung tidak sempat dinobatkan sebagai Raja sehingga tidak berhak menyandang gelar Dewa Manggis IX. Selama masa pemerintahannya memberi kesan tersendiri bagi sejarahwan Amerika, Williard A Hanna yang menggambarkan Ngurah Agung sebagai raja yang cerdas, ahli dalam seni tari, sastra, musik, dan drama. Ngurah Agung sangat dekat dengan para seniman, seperti para pematung, pengukir, pelukis, penenun, dan pengerajin seni lainnya.
Sebagai penerus tahta Puri Gianyar, Ngurah Agung belajar adat dan agama melalui sastra klasik serta pokok-pokok Hindu Dharma yang bersumber pada Kitab Weda dan ajaran-ajaran yang termuat dalam naskah Jawa Kuno, Bali, dan lain sebagainya. Ngurah Agung sagat pasih tentang isi kitab-kitab seperti Ramayana, Mahabharata, Sutasoma, Adiparwa dan sebagainya. Raja Ngurah Agung dengan tegas menolak pendirian sekolah-sekolah Kristen yang dicurigai akan menyebarkan ajaran agama Kristen.
Berdasarkan Ketetapan Pemerintah Hindia-Belanda tanggl 8 Maret 1900 maka status Ngurah Agung adalah Regent, status ini membuat Kerajaan Gianyar amat sering dikunjungi oleh Residen di Singaraja maupun Gubernur Jenderak yang berkedudukan di Batavia. Konsekuensinya, Puri Agung Gianyar harus menyiapkan berbagai cara penyambutan, seperti resepsi kenegaraan,  dan jamuan makan ala Belanda. Gianyar juga sebagau gerbang masuknya budaya Barat (kemudian Jepang). Maka, para penerus Dinasti Manggis  berusaha menyerap dan mengadaptasi semuanya. Mereka mempelajari ilmu pengetahuan, aspirasi politik pemerintahan modern, hingga berbagai jenis makanan dan minuman, serta melatih keluarga Puri menyiapkan jamuan makan kerajaan atau kenegaraan.

Ide Anak Agung Gde Agung
Ide Anak Agung Ngurah Agung digantikan oleh putera sulungnya Ide Anak Agung Gde Agung sebagai Regent berikutnya pada tahun 1943. Ngurah Agung kemudian wafat tahun 1960 disusul permaisuri utama ibunda Gde Agung tahun 1962. Wafatnya permaisuri utama mengundang kecurigaan berbagai pihak, bahwa kematiannya disebabkan oleh penyakit yang dibuat oleh permasuri lain yang cemburu.
Ide Anak Agung Gde Agung lahir di Puri Gianyar tanggal 24 Juli 1921. Sebagai pengganti ayahandanya, Gde Agung meneruskan tugas memimpin komunitas istana, semua tugas sosial kemasyarakatan, serta menjalankan dan mempertahankan adat istiadat Puri Agung Gianyar. Gde Agung menggantikan ayahandanya dalan usia yang amat belia, yakni 23 tahun.
Sejak masa kanak-kanak, dan menjelang dewasa, Gde Agung menjalani pendidikan teratur, keras, dan penuh disiplin. Setelah tamat HIS di Klungkung, Gde Agung disekolahkan ayahnya ke sekolah menengah MULO di Malang. Demikian seterusnya Gde Agung sebagai pewaris terakhir Kerajaan Gianyar menikmati pendidikan Belanda, sampai NKRI diproklamasikan 17 Agustus 1945, yang mengakhiri semua kekuasaan kerajaan di Nusantara termasuk Kerajaan Gianyar.

10 komentar:

  1. Om Swastiastu
    saya ingin bertanya, cerita ini bersumber dari mana ?
    trus kira" dalam Babad Gianyar, terdapat atau tidaknya sebuah nama/ sebutan Ki Banjaran ??
    Suksma
    "Om Santi Santi Santi Om"

    BalasHapus
  2. Osa, postingan yg bagus...sumbernya dari mana ya, dan Pura Bukit Jati yang dikatakan tempat bersemadi Dewa Agung Manggis Kuning yg berada di gianyar, atau bukit jati guliag bangli?trims

    BalasHapus
  3. Om Swastiastu, Sejarah Gianyar ini Fiktif atau non Fiktif, belum ada sumber yang diposting. Bagaimana peran Panamun ( Meranggi Dana, Pedungan, Kayuan dan Batuan) katanya mereka trsbt adalah cikla bakal berdirinya Kerajaan Gianyar?

    BalasHapus
  4. BACA buku Bali pd abad ke 19.karya DR anak agung gede agung..lebih lengkap sumbernya dr universitas leiden Belanda.

    BalasHapus
  5. Berkas2 ada di jro batan leci gianyar tempat tinggalnya pertisentana, patih made pasek cedok dan juga ada babad2 pasek.. Serta geguritan2

    BalasHapus
  6. Seharusnya sugre Patih Pasek Cedok golongan Satria Arya karena menjabat sebagai Patih Kerajaan Gianyar yg berjasa bagi raja dan negara.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Matur suksma telah mengenal leluhur kami ...salam dari batanleci gianyar, generasi ke 7 dari tabik pakulun patih made pasek cedok✌️🙂

      Hapus
  7. jro made pasek tidak mau meninggalkan Darah kepasekanya

    BalasHapus
  8. Kenapa dari Kerajaan Gianyar tidak ada yang melakukan perlawanan terhadap ekspansi Belanda/ perang Puputan seperti puri-puri lainnya di Bali?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Karena gianyar tahu ...jika puputan akan mengakibatkan bnyk korban dari rakyat gianyar..

      Hapus